Jumat, 29 Januari 2010

Mengapa? Karena Dia Manusia Biasa.

Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir ). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya.

Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim.

Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.

Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti, agar bisa menemaninya selama proses pernikahan. Begitu banyak pertanyaan di kepala saya. Saya ingin tahu, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu.

Ada apakah gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu. Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan. Beberapa kali dia menelepon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya menelepon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That's all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap di rumahnya. Jam 11 malam, H-1 kita baru bisa ngobrol (hanya berdua). Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya. Beberapa kali Mamanya mengetok pintu, meminta kita tidur.

"Aku gak bisa tidur." Dia memandang saya dengan wajah memelas.

Saya paham kondisinya saat ini.

"Lampunya dimatiin aja, biar dikira kita dah tidur. Iya.. ya."

Dia mematikan lampu neon kamar dan menggantinya dengan lampu kamar yang temaram. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Suatu hal yang sudah lama sekali tidak kita lakukan. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan kamar. Memunculkan aura cinta yang menerangi kamar saat itu. Hingga akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang selama ini saya pendam.

"Kenapa kamu memilih dia?" tanyaku.

Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari tidurnya sambil meraih HP di bawah bantalku. Berlahan dia membuka laci meja riasnya. Dengan bantuan nyala LCD HP dia mengais lembaran kertas di dalamnya. Perlahan dia menutup laci kembali lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja.

"Apaan sih ?" Saya memandangnya tak mengerti.

Dianya malah tertawa geli.

"Buka aja." Suruhnya.

Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih. Saya membaca satu kalimat di deretan paling atas.

Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia hanya tertawa melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat ini pun saya masih hafal dengan kata-katanya. Inilah isi surat itu.

Kepada Yth

Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya
Di tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

Saya, yang bernama ...... menginginkan anda ...... untuk menjadi istri saya.

Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak.

Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya.

Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Oleh karena itu, Saya menginginkan anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Karena saya tidak tahu suratan jodoh saya.

Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali dan saya semakin mantap memilih anda. Yang saya tahu, Saya memilih anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini.

Saya mohon sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya beri waktu minimal 1 minggu, maksimal 1 bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr Wb

Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat 'lamaran' yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya.

Saya menatap sahabat disamping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.

"Kenapa kamu memilih dia?" Tanya saya.

"Karena dia manusia biasa." Dia menjawab mantap. "Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita di kemudian hari. Entah kenapa, Itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buat aku."

"Maksudnya?" tanyaku heran.

"Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan ? Paling gak. Aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha." katanya sambil tersenyum tawa.

"Ssttt."

Saya membekap mulutnya. Kuatir ada yang tau kalau kita belum tidur. Terdiam kita memasang telinga. Sunyi. Suara jangkrik terdengar nyaring di luar tembok. Kita saling berpandangan lalu tertawa sambil menutup mulut masing-masing.

"Udah tidur. Besok kamu kusut, ntar aku yang dimarahin Mama." kataku.

Kita kembali rebahan. Tapi mata ini tidak bisa terpejam. Percakapan kita tadi masih terngiang terus di telinga saya.

"Tidur! Dah malam." Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur, agar dia terlihat cantik besok pagi. Kantuk saya hilang sudah, sepertinya tidak akan tidur semalaman.


*********************************************

Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu.

Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya. Sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitupun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tapi sebuah 'proses usaha'.

Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan 'nama'. Embel-embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan. Ketika segala yang 'melekat' pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya. Maka semua menjadi indah.


Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap umat-Nya.

Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan.

Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan.

Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah. Meminta-Nya mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan.

Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah.

Cinta paling halal dan suci. Cinta karena Allah. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa.

Sumber : Note facebook seorang akhwat


Senin, 11 Januari 2010

Sungai Lenggang

Aku selalu berlari. Aku menyukai berlari. Para kuli ngambat adalah pelari. Ikan hiu dan pari yang panjangnya sering sampai dua meter akan mengayun bamboo pikulan seperti goyangan penyanyi dangdut dan daya tending ayunannya hanya bisa distabilkan dengan memikul ikan-ikan panjang itu sambil berlari. Tak susah bagiku untuk terpilih jadi sprinter SMA Negeri Bukan Main.

Aku berlari berangkat sekolah. Amboi, aku senang sekali berlari menerobos hujan, seperti selendang menembus tirai air berlapis-lapis. Aku tak pernah kelelahan berlari. Tubuhku ringan, kecil, dan ramping, dengan rambut ikal panjang dan kancing baju yang sering tak lengkap, jika berlari aku merasa seperti orang Indian, aku merasa menjadi layangan kertas kajang berwarna-warni,aku merasa seumpama benda seni yang meluncur deras menerabas angin.

Aku selalu berlari pulang sekolah tapi siang ini, di depan restoran mi rebus, langkahku terhenti. Aku terkejut melihat tiga orang di dalam restoran: aku sendiri, Arai, dan Jimbron tengah membereskan puluhan piring kotor yang berserakan di atas meja. Aku berlari lagi, memandangi tiga orang yang kukenal itu sampai jauh.

Aku kembali terhenti melihat tiga mobil omprengan reyot di depan kantor syahbandar. Tiga orang kernetnya Arai, Jimbron, dan aku sendiri termangu-mangu menunggu penumpang ke Tanjong Pandan. Aku ketakutan menyaksikan orang lain telah menjelma menjadi diriku. AKu kabur pontang-panting, Sampai di los kontrakan aku kehabisan napas. Dan nun disana, di Semenanjung Ayah, aku merinding melihat Arai, Jimbron, dan aku sendiri berpakaian compang-camping, memikul karung buah kweni.

Berhari-hari aku memikirkan kejadian aneh itu. Dan siang ini aku menemukan jawabannya. Karena siang ini aku berhasil membongkar suatu rahasia. Sekarang aku mengerti mengapa hukum membolehkan orang berusia delapan belas tahun ke atas menimbuni dirinya dengan berupa-rupa keborokan, sebab pada usia itu manusia sudah bisa bersikap realistis. Itulah rahasia yang kutemukan. Ajaib, bagaimana manusia meningkat dari satu situasi moral ke situasi moral lainnya. Hari ini sayap-sayap kecil tumbuh di badan ulat kepompong, aku bermetamorfosis dari remaja ke dewasa. Aku dipaksa oleh kekuatan alam untuk melompati garis dari menggantungkan diri menjadi mandiri. AKu dipaksa belajar bertanggung jawab pada diriku sendiri. Satu lapisan tipis seolah tersingkap di mataku membuka tabir filosofis yang pasti menjadi orang dewasa yaitu: hidup menjadi semakin tak mudah.

Aku sendiri, Jimron, dan Arai yang kusaksikan membersihkan meja di restoran, menjadi kernet, dan pedagang kweni tak lain adalah manifestasi dari sikapku yang telah bisa realistis; karena usiaku telah menginjak delapan belas. Kini aku sadar setelah menamatkan SMA nasibku akan sama dengan nasib kedua sahabatku waktu SMP; Lintang dan Mahar. Lintang yang cerdas malah tak sempat menyelesaikan SMP. Sungguh tak adil dunia ini; seorang siswa garda depan sekaligus pelari gesit berambut ikal mayang akan berakhir sebagai tukang cuci piring di restoran mi rebus.

Berada dalam pergaulan remaja Melayu yang seharian membanting tulang, mendengar pandangan mereka tentang masa depan, dan melihat bagaimana mereka satu persatu berakhir, lambat laun memengaruhiku untuk menilai situasiku secara realistis. Namun, tak pernah kusadari sikap realistis sesungguhnya mengandung bahaya sebab ia memiliki hubungan linear dengan perasaan pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang.

Sekarang, setiap kali Pak Balia membuai kami dengan puisi-puisi indah Prancis aku hanya menunduk, menghitunng hari yang tersisa untuk memikul ikan dan menabung. Dan sampai di los kontrakan, melongok ke dalam kaleng celenganku yang penuh, penuh oleh uang receh, darah masa mudaku yang berapi-api perlahan padam.Aku sangat Mafhum, bahwa tabunganku itu tak akan pernah mampu membawaku keluar dari pulau kecil Belitong yang bau karat ini. Bagi kami, harapan sekolah ke Prancis tak ubahnya pungguk merindukan dipeluk purnama. serupa kodok ingin dicium putri agar berubah jadi pangeran. Altar suci almamater Sorbonne, menjelajah Eropa sampai ke Afrika, hanyalah muslihat untuk menipu tubuh yang kelelahan agar tegar bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan. Kami tak lebih dari orang yang menggadaikan seluruh kesenangan masa muda pada kehidupan dermaga yang keras, hidup tanpa pilihan dan belas kasihan.

Kini aku telah menjadi pribadi yang pesimistis. Malas belajar. Berangkat dan pulang sekolah lariku tak lagi deras. Hawa positif dalam tubuhku menguap dibawa hasutan-hasutan pragmatis. Untuk apa aku memecahkan kepalaku mempelajari teorema binomial untuk mengukur bilangan tak berhingga jika yang tak berhingga bagiku adalah kemungkinan tak mampu melanjutkan sekolah setelah SMA, jika yang akan kuukur nanti hanya jumlah ikan yang telah kupikul agar mendapat beberapa perak uang receh dari nakhoda. Buat apa aku bersitegang urat leher berdebat di kelas soal geometri ruang Euclidian yang rumit,j ika yang tersisa untukku hanya sebuah ruang los sempit 2 x 2 meter di dermaga. Pepatahku sekarang adalah pepatah konyol kuli-kuli Meksiko yang patah arang dengan nasib: ceritakan mimpimu, agar Tuhan bisa tertawa.

Tapi sebaliknya, demi Tuhan, sahabatku Jimbron memang makhluk yang luar biasa. Meski peningkatan prestasinya amat mengesankan—ia baru saja mempersembahkan tempat duduk nomor 128 pada Pendeta Geo dari nomor kursi 78 semester sebelumnya—tapi ia sangat optimis.

Sore ini ia sudah berdiri tegak di dermaga menunggu kapan barang. Minggu lalu ia memesan sesuatu pada mualim kapal, sahabatnya.

“Pak Cik, tolong belikan aku celengan kuda di Jakarta .”

Jimbron menjadi sahabat mualim karena telah membantunya menyetrika tatonya. Setelah tua dan ingin salat sang mualim baru menyadari ketololan masa mudanya menato tubuhnya.

”Dua buah, Pak Cik, dua buah...”

”Tak cukup hanya satu, Bron??”

”Dua, Pak Cik, kalau bisa yang berwarna putih dan hitam.”

Sudah tahu kesintingannnya akan kuda, mualim itu tak lagi bertanya mengapa satu celengan kuda saja tak cukup. Satu celengan kuda adalah apa yang kita sebut normal, adapun dua celengan kuda kita sebut obsesif kompulsif. Abnormalitas adalah isu yang pas untuk Jimbron. Dan hari ini ia senang tak terperi karena celengan sebesar anak kambing itu datang. ”Celengan untuk melanjutkan sekolah!!” pekiknya bersemangat. Kami mengamati kuda dari tanah liat dalam gendongannya. Tak berminat membahasnya, tapi Jimbron sudah seperti orang kebelet pipis, tak kuat menahan cerita kudanya.

”Ah, ini hanya kuda-kuda lokal saja, Kawan, tapi cantik juga bukan...???”

Seakan kami bertanya, seakan kami peduli, seakan kami sangat tertarik.

”Yang ini jelas kuda Sumbawa... dan yang putih ini, kalau kutengok hidungnya, ah, ini ku.. kuda sandel saja, populasinya banyak di Jawa Barat, biasa dipakai untuk hiburan delman keliling kota .. ”

Bangga suaranya, senang hatinya, dan cerah wajahnya. Ia melenggang, memindahkan tabungannya dari bawah kasur dan membaginya rata dua bagian. Masing-masing bagian itu dimasukkan ke dalam kuda hitam dan kuda putih. Nanti setiap ia mendapat upah dari nakhoda, dibaginya dua dengan rata dan dimasukkannya ke dalam kedua celengan kuda itu.Kami hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

”Meskipun kaupenuhi celengan sebesar kuda sungguhan, sahabatku Jimbron, tak’kan pernah uang-uang receh itu mampu membiayaimu sekolah Perancis..., demikian kata hatiku.Dan dengarlah itu, Kawan. Siratan kalimat sinis dari orang yang pesimis. Sungguh berbisa sengatan sikap pesimis. Ia adalah hantu yang beracun. Sikap itu mengekstrapolasi sebuag kurva yang turun ke bawah dan akan terus turun ke bawah dan telah membuatku menjadi pribadi yang gelap dan picik. Seyogyanya sikap buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis, lalu iri, lalu dengki, lalu mungkin fitnah. Dan dengarlah ini, Kawan, akibatnya nyata sikap buruk itu.

”Tujuh puluh lima !! Sekali lagi 75 !! Itulah nomor kursi ayahmu sekarang...”

Aku dipanggil Pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya habis-habisan,”

Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA, memalukan!! Memalukan bukan buatan!!”

”Keterlaluan!! Orang sepertimu patut dibuat sekandang dengan Malin Kundang, Itulah orang sepertimu, kalau kau ingin tahu!! Sangkamu kau siapa?? Pythagoras apa? Di SMA yang ketat bersaing ini kau pikir bisa menjaga kursimu dengan belajar sekehendak hatimu!!??”
Suaranya berat penuh sesal. Ia memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian, hanya caranya saja yang keras.

”Kini kau terdepak jauh dari garda depan??”

Ia menatapku geram. Marah, tak habis mengerti, ada satu kilatan kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam hatinya. Ia memandang jauh keluar jendela. Diam. Lalu ia berbalik menatapku, suaranya tertahan, ”Tahukkah kau, Bujang?? Sepanjang waktu aku bermimpi anakku duduk di kursi garda depan itu...”

Aku terharu melihat mata Pak Mustar berkaca-kaca.

”Kini ia sekolah di Tanjong Pandan, di SMA yang monyet pun jika mendaftar akan diterima!! Dan kau, kausia-siakan kehormatan garda depan itu!!?? Mengapa kau berhenti bercita-cita, Bujang? Pahamkah engkau, berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia!!”

Aku menunduk diam menekuri kata-kata yang amat dalam maknanya. Kata-kata itu menusuk-nusuk pori-poriku.

”Surat undangan sudah kuposkan pada ayahmu, dapat kau bayangkan perasaan beliau sekarang??”

Dan ketika nama ayahku disebut. Aku sontak sadar, sikap pesimis telah mengkhianatiku bulat-bulat. Aku kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam hatiku.

”Aku berani bertaruh, ayahmu tak’kan sudi datang.”

Aku menciut lemas ditikam perasaan bersalah.

”Wan prestasi!! Cidera janji!! Anak yang tak mampu memenuhi harapan orangtua!! Tak tahukah engkau, Bujang?? Tak ada yang lebih menyenangkan ayahmu selain menerima rapormu??”

Hatiku sakit,perih sekali.

”Kamulah harapan beliau satu-satunya, Ikal.”

Seluruh air yang ada dalam tubuhku naik ke kepalaku.

”Ah, ayahmu, Ikal, diundang pelantikan bupati pun baju safarinya tak beliau keluarkan. Hanya untukmu Ikal, yang terbaik dari beliau selalu hanya untukmu...”

Air itu tumpah ruah berlinangan melalui mataku. Malam turun di Magai seperti hanya untukku. Kata-kata Pak Mustar laksana gelap yang mengikatku rapat-rapat, menyiksaku dalam detik demi detik yang amat lama seumpama pergantian musim. Akankah esok ayahku datang? Aku mengutuki diriku sendiri.

Tak sepicing pun aku dapat tidur. Aku terpuruk dalam sekali. Tak pernah aku mengalami malam yang tak kunjung berakhir seperti ini. Dalam situasi moral yang paling rendah, kenangan lama yang pedih seakan hidup kembali, menyerbuku tanpa ampun. Bayangan itu seperti film yang berputar-putar mengelilingiku, menari-nari seperti hantu. Aku melihat Arai—anak kecil yang menungguku di tengah ladang jagung, aku teringat perpisahan dengan sahabatku, Lintang yang menghancurkan hatiku, aku teringat nasib pilu seorang laki-laki bernama Bodenga, dan aku sadar betapa sejak kecil kami telah menjalani kehidupan yang keras demi pendidikan.

***********

Pagi-pagi sekali aku dan Arai telah menunggu ayahku dengan harapan yang amat tipis beliau akan datang, Dan kami maklum jika beliau enggan bersusah payah berangkat pagi buta mengayuh sepeda tiga puluh kilometer, melewati dua bukit dan padang, hanya untuk dipermalukan.

Sejak mengetahui aku terdepak dari garda depan karena kepicikanku sendiri. Arai sudah malas bicara denganku. Aku gelisah menyaksikan para orangtua murid berduyun-duyun menuju aula. Mataku lekat memandangi jalan di luar gerbang sekolah. Ayahku tak kunjung tiba. Arai menatapku benci.

Hatiku hampa.

Tapi tiba-tiba mataku silau melihat kap lampu aluminium putih dari sepeda yang dikayuh seorang pria berbaju safari empat saku. Ia mengayuh sepedanya kelelahan, terseok-seok, dan semakin cepat ketika melihat kami. Berhenti di depan kami, pria itu menyeka keringatnya. Aku tertegun dan dadaku sesal melihat lipatan mengilap, serta kumis dan rambutnya yang dicukur rapi. Beliau akan duduk di kursi nomor 75 namun beliau tetap cuti dua hari, dan tetap melakukan prosedur yang sama, dengan suasana hati yang sama, untuk mengambil raporku. Harum daun pandan dari baju safari ayahku membuat air mataku mengalir. Meskipun akan kupermalukan, ibuku tetap merendam daun pandan sehari semalam untuk menyetrika baju safari ayahku. Dan ayahku dengan senang hati datang jauh-jauh mengambil raporku dengan bajunya yang terbaik, dengan bajunya yang paling wangi. Aku tak mampu bicara ketika beliau menyapa kami dengan salam pelan "Assalamu’alaikum " tersenyum, dan menepuk-nepuk pundak kami dengan bangga, persis sama seperti kebiasannya selalu.

Membayangkan apa yang dialami ayahku di dalam aula, kurasakan seakan langit mengutukku dan bangunan sekolah rubuh menimpaku. Tak lagi kudengar tepuk tangan ketika nama ayahku dipanggil untuk mengambil raporku. Yang kudengar hanya orang kasak-kusuk bertanya mengapa prestasi sekolahku sampai anjlok begitu. Bagaimana ayahku yang pendiam akan menjawab berondongan pertanyaan yang hanya akan menyakiti hatinya? Aku terpuruk dalam penyesalan. Betapa aku ini anak tak berguna!! Betapa sampai hati pada ayahku.

Sungguh berat detik demi detik kulalui menunggu ayahku keluar dari aula. Dan akhirnya,beliau meninggalkan aula. Langkahnya tetap tenang seperti dulu aku masih berprestasi. Beliau menghampiri kami dan tersenyum. Senyum itu adalah senyum kebanggaan khas beliau yang tak sedikit pun luntur, persis seperti dulu ketik aku masih di garda depan. Ketika beliau menatap kami satu per satu, masih jelas kesan bahwa apa pun yang terjadi, bagaimanapun keadaan kami, kami tetaplah pahlawan baginya. Beliau senantiasa menerima apapun adanya kami. Aku tertunduk diam, hatiku hancur dan air mataku kembali mengalir. Seperti kebiasaannya, beliau menepuk-nepuk lembut pundak kami dan mengucapkan sepatah salam dengan pelan. Aku tersedu sedan melihat ayahku menaiki sepedanya dan tertatih-tatih mengayuhnya meninggalkanku.

Dadaku ingin meledak memandangi punggung ayahku perlahan-lahan meninggalkan halam an sekolah.

”Puaskah kau sekarang ?? "Arai menumpahkan kemarahannya padaku.

Aku membelakanginya.

”Itukah maumu? Melukai hatinya??”

Aku masih membelakangi Arai karena aku tak ingin melihat pipiku telah basah.

"Apa yang terjadi denganmu, Ikal ? Mengapa jadi begini sekolahmu ? Ke mana semangat itu? Mimpi-mimpi itu?”

Arai geram sekali. Ia tak habis mengerti padaku.

"Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi,
dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!”

Aku tersentak dan terpaku memandangi ayahku sampai jauh, bentakan-bentakan Arai berdesingan dalam telingaku, membakar hatiku.

’Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati...”

Aku merasa beku, serasa disiram seember air es.

”Mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli, tapi di sini Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita!!”

Mendahului nasib! Dua kata yang menjawab kekeliruanku memaknai arah hidupku. Pesimistis tak lebih dari sikap takabur mendahului nasib.

”Kita lakukan yang terbaik di sini! Dan kita akan berkelana menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne! Apa pun yang terjadi!”

Arai berteriak. Suaranya lantang memenuhi lapangan luas sekolah kami, menerobos ruang-ruang gelap kepicikan dalam kepalaku. Kata-Katanya itu seperti sumbu aki yang mencharge baterai dalam tubuhku.

Seketika mataku terbuka untuk melihat harapan besar yang tersembunyi di dalam hati ayahku. Ayahku yang selalu diam, tak pernah menuntut apa pun. Aku bergetar. Kupandangi jalan lurus di depanku, berpuluh-puluh kilometer menuju kampungku. Aku ingin menyusul ayahku dan aku mulai berlari. Aku melintasi halaman-halaman sekolah, kompleks perkantoran, dan pasar. Aku berlari melalui kampung-kampung kecil sampai keluar Magai, tapi aku tak melihat ayahku. Beliau jauh di depan. Matahari sudah condong, aku berlari di atas aspal yang panas, aku maraton tak berhenti. Aku menolak ajakan kendaraan-kendaraan yang melewatiku. Aku kelelahan tapi aku akan berlari dan terus berlari sampai kujumpai ayahku. Kini aku sampai di jalan panjang yang tampak seperti garis hitam membelah padang sabana yang luas. Semak belukar meliuk-liuk keemasan disirami cahaya matahari, bergulung-gulung diaduk angin yang terlepas bebas. Di sana, di ujung garis yang sunyi itu kulihat satu noktah, ayahku ! Aku berlari semakin kencang seperti layangan kertas kajang berwarni-warni, seperti orang Indian, Aku berlari sampai perih kaki-kakiku, Aku berhasil menyusul ayahku ketika beliau sudah berada di tengah jembatan Lenggang. Saat aku berlari di samping sepedanya, ayahku terkejut dan tersenyum, Sebuah senyum lembut penuh kebanggaan.

”Ikal...,” katanya.

Kuambil ali mengayuh sepedanya, beliau duduk di belakang. Tangan kulinya yang kasar dan tua memeluk pinggangku. Ayahku yang pendiam: ayah juara satu seluruh dunia. Matahari sore yang hangat bercampur dengan angin yang dingin, membelai-belai kami melalui jembatan kayu. Di bawah kami sungai purba Lenggang mengalir pelan. Gelap dan dalam. Hulunya menyimpan sejarah pilu orang-orang miskin Melayu,anak-anak sungainya adalah misteri yang mengandung tenaga mistis, dan riak-riaknya yang berkecipung siang dan malam adalah nyanyian sunyi rasa sayangku yang tak bertepi untuk ayahku.

Minggu, 10 Januari 2010

Dalam Mihrab Cinta Part 1

Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun.

"Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak mencuri!" Santri yang mukanya sudah berdarah-darah itu mengiba.

"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!" Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah sangat geram.

"Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut Gondrong itu tetap tidak mau mengaku.
Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya.

"Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong mengaduh lalu pingsan.

^-^

Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. la dikunci di gudang pesantren yang dijaga beberapa santri. Kedua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh. la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa kematian telah berada di depan mata.

Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka meneriakkan kemarahan dan kegeraman.

"Maling jangan diberi ampun!"

"Hajar saja maling gondrong itu sampai mampus!"

"Wong maling kok ngaku-ngaku santri. Ini kurang ajar. Tak bisa diampuni!"

la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan.

Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya. Para santri yang didera kemarahan meluap hendak menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok menahan mereka dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesantren masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan.

Jumat, 08 Januari 2010

Takbir Cinta Zahrana Part 5

Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon suaminya. la ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya. Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa. la diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.

"Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana berapi-api. Lantas ia menunjukkan data-data yang menguatkan dugaannya itu. Lina menanggapinya dengan kepala dingin,

"Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"

"Data-data tadi. SMS saat aku mencoba gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa. Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru Zahrana.

"Aku bukan pakar hukum Rana. Tapi sebaiknya kau fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari tasnya.

"Apalagi polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba kaubaca ini baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika.

Zahrana mengambil koran dari tangan Lina. Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina menangkapnya. Lina berusaha menghibur,

"Sudahlah Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hamba-Nya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina.

"Sebaiknya kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi." Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa,

"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang Paling berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."

Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia labuhkan segala keluh kesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan. Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa,

"Ya Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu semua jenis kejahatan yang terjadi di atas muka bumi ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal buruk yang Engkau ketahui."

^-^

Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya. Selesai Tahajjud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan. Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang duduk di meja makan itu.

"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak."

"Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi."

"Apakah aku masih berkesampatan melihat kau duduk di pelaminan ya Nak."

"Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi."

Selesai sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara ibunya shalat. Begitu azan Subuh berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci Ramadhan.

Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalan-jalan menghirup udara pagi keliling komplek perumahan. Mereka berdua masuk rumah ketika matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar.

Jam tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada sebuah judul berita: KARENABERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG KERJANYA.

"Semarang - Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena isterinya bernama M (24 tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas terkemuka dari Amerika Serikat itu. Dua mahasiswa suami isteri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...."

Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik olo kethoro!" (Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui, perbuatan buruk juga akan tampak) Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.

Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat. Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang berkenaan dengan puasa. Puasa dan hubungannya dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes,

"Kok tugasnya membaca buku tentang puasa Bu. Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?"

Dengan tersenyum Zahrana menjawab,

"Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan kesabaran yang tinggi. Maka ibu ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa. Ayo kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."

Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang jarang mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa kehilangan fokus utama pelajaran.

^-^

Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. la ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang.

Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan

"Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.

"Dari warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian ya Bu?"

Iya.

"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?"

"Alhamdulillah Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa."

"Senang ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai.

"Menyengaja ke sini em..."

Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,

"Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin beliau konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau."

Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya mengganggu."

"O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat,"saya tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur.

Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.

"Eh..konsultasi apa ya Bu?" Zahrana memecah keheningan.

"Eh ini. Tentang Hasan, anak saya."

"Ada apa dengan Hasan, Bu?"

"Sebelumnya maaf ya Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia Bu."

Zahrana mengerutkan dahi,

"Kalau menurut saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa isterinya dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya ditinggal di Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga murah."

"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya isteri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?"

"Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya Bu. Menurut saya Hasan sudah sangat layak menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab dan kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri?"

"Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang."

"Mantap saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu."

"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang diajukan Hasan."

"Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?"

"Tidak Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu."

Zahrana kaget bagai disambar Halilintar.

"S...saya Bu?!"

"Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!"

"Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan Bu, sungguh." Jawab Zahrana dengan nada takut dan kuatir. la kuatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap berhubungan dengan Hasan.

"Nggak Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini."

"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu."

Bu Zul malah tersenyum,

"Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"

"Ibu harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya hubungan apapun dengan Hasan kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu!?"

Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana.

"Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada ibu. Juga percaya pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting gadis manapun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu dari teman ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tapi belum resmi. Jika Bu Zahrana serius nanti saya akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga."

Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.

"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu."

"Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa yang masih membuat Bu Zahrana ragu."

"Saya masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?"

"Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak Bu, tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"

"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi."

"Berarti menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam tanda menerima."

"Saya ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi adik saya."

"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh. Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh suami saya juga lebih muda dua tahun dari saya."

"Saya belum bisa menerima Bu?"

"Kenapa? Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan suatu cacat yang menurut ibu layak ditolak lamarannya?"

Zahrana diam. la tidak tahu harus bagaimana. la masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.

"Diam berarti menerima. Saya pamit Bu, mana ibunda tadi?"

Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri.

"Ibu benar-benar serius?"

"Iya."

"Hasan juga benar-benar serius?"

"Iya."

"Kalian sudah tahu kekuranganku dan mau menerimaku?"

"Iya. Tak ada manusia yang sempurna."

"Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat.

"Apa syaratnya?"

"Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid. Maharnya seadanya saja."

Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidakmenduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu.

"Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja."

"Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali."

Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter.

"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon."

Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada kebahagiaan menyusup dalam hatinya. Tapi juga ada kecemasan. la memang lagi bahagia. Namun untuk membentengi diri agar tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau sandiwara.

^-^

Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada kenikmatan luar biasa saat buka. Kenikmatan yang susah diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang bisa merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi.

Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat dari Bu Zul,

"Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara Hasan ya.."

Suara di hand phone Zahrana lalu berubah,

"Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami shalat Isya di masjid dekat rumah Ibu."

"Kau serius Hasan?"

"Iya Bu."

"Kau bisa mencintaiku?"

"Iya Bu."

"Kalau begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?"Zahrana merasa tak perlu malu.

"Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid."

Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.

"Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah."

Sambungan ditutup.

Zahrana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan terisak-isak Zahrana menjelaskan apa yang terjadi. Sang ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi.

Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi. Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangga Zahrana. Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu Zahrana menangis tersedu-sedu. Beberapa ibu-ibu juga menangis.

Malam itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan hal yang sama. Usai akad nikah Hasan mengajak Zahrana naik mobilnya menuju hotel termewah di tengah Kota Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya sebagai seorang isteri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami.

Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi, saling mencintai dan saling menghormati.

Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orangorang yang sabar dan ihsan. Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya. Subhaanallaah wal hamdulillaah, wa laailaahaillallaahu wallaahu akbar!

^-^

Takbir Cinta Zahrana Part 4

Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo.

Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,

"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."

Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anak-anak yang menjadi penyejuk jiwa.

Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,

"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semenamena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."

Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,

"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"

^-^

Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna. Besok acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main kejarkejaran. Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group kasidah Nasyida Ria berkumandang,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja. Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar. Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak-anak kecil tertawa-tertawa bahagia. Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi seperti patung. Linalah yang membangunkannya.

"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.

Lina yang ia tanya malah menangis.

"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!"

"Ada apa dengan Rahmad?"

Lina tidak menjawab malah semakin keras terisak-isak.

Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,

"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"

"Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.

"Rahmad mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad.

"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika.

Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata. Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain,

Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain, "Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"

Paman Rahmad menjelaskan,

"Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat pen ting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya.

Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah.

Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah, Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa.

Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api, dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."

Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana masih pingsan.

^-^

Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.

Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. la masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma baginya.

Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.

"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.

"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan.

"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"

"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."

"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."

"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan tenang!"

Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.

"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana.

"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran."

Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.

"Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...." Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit kamar rumah sakit.

"Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."

"Entahlah Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi."

"Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"

"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!"

"Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."

"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!" Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.

"Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."

Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.

"Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"

Zahrana mengangguk.

"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?"

"Siapa nama anak Bu Dokter?"

"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."

"O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."

"Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak membantu anak saya."

"Sama-sama, Bu."

Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah dalam usia yang sangat terlambat.

"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang dikejar-kejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan sedih."

Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata, "Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali."

Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov."

"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan

"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan. Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."

"Nasihat yang baik sekali Bu."

"Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kaubaca juga karya-karya sastra."

"Terima kasih Bu atas semuanya."

^-^

Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit. Namun tak tertolong. Nyawanya melayang di perjalanan. Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya.

Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh. Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan Zahrana.

Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian.

Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga teman-teman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang. Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali,

"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!"

Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba-tiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.

"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.

^-^

Takbir Cinta Zahrana Part 3

Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai. la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju. Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok.

Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran. Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang lain.

Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun. Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.

Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah.

"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!"

Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis. Sang ayah berkata sambil terisak,

"Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"

"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab Zahrana sambil mengusap airmatanya.

Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan. Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.

Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al Fatah. Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui.

'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.

"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala menunduk.

"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"

"Iya, Ummi."

"Dulu nyantri di mana?"

Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong,

"Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."

"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB. Jurusan apa?"

"Teknik Sipil, Ummi."

Bu Nyai hanya manggut-manggut.

Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu Nyai menjawab,

"Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu bagaimana?"

Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia menjawab,

"Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja."

"Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya. Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai. Semoga ada pandangan."

"Baik Bu Nyai."

Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas.

"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.

Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya. Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.

^-^

Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya.

"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah. Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga." Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya. Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah.

Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al-Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan bacaannya.

"Duduklah, Anakku."

Ia duduk dengan kepala menunduk.

"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."

"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.

"Ya. Semoga barakah, Anakku!"

Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:

"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah...!"

Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai,

"Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"

"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri.

Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.

"Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"

Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah.

Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.

"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." Demikian kata ibunya.

Ia mulai mantap.

Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab,

"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."

Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya.

Bu Nyai menjawab,

"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"

"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15."

"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apa apa."

"Baik Bu Nyai." Jawabnya.

Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Jangan jangan ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desahnya.

^-^

Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak kemana-mana sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk itu tidak juga datang.

Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang.

"Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,

"Kerupuk Pak!"

Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam tersengat matahari. la hampir menangis.

"Iya Bu, beli berapa?"

"Tiga ribu Pak."

"Baik Bu."

Penjual kerupuk itu mengambil kerupuk dan memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu.

"Ada yang kecil Bu?"

"Aduh tak ada Pak."

"Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu bawa dulu saja kerupuknya. Kapan-kapan kalau saya lewat ibu bayar."

"E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak."

"Baik Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga keinginan ibu dikabulkan Allah."

"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya.

Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan penjual kerupuk yang baru ditemuinya.

"Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang pantasnya untuk penjual kerupuk yang tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.

"Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu siapa namanya?"

"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."

"Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu. Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami saleh harus sabar ya." Lina berusaha menenangkan dan menguatkan.

"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar."

Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu. Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar.

Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya.

Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung. Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya bercucuran,

"Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku menyempurnakan separo agamaku sesuai syariat-Mu. Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu."

Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapa siapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading.

Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring,

"Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!"

Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang. Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak,

"Kerupuk, Mas!"

Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.

"Iya Bu, beli berapa?"

Ia tersadar.

"E...lima ribu."

Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk.

"Ini Bu"

Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu.

Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan menghitung uang kembalinya.

"Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah."

Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik berisi kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.

"E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.

"Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"

"Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini."

"Iya Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron saja,"

"O. Ini cari langganan baru ya?"

"Bisa ya, bisa tidak."

"Kok begitu."

"Biasanya dagangan saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja. Besok-besok terserah."

Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun.

"Boleh tahu, siapa nama Mas?"

"Nama saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari masjid."

Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.

"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hari.

Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ada di rumah.

"Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!" tegur ibunya serius.

"Dari mengejar penjual kerupuk Bu. Wong cuma sebentar kok." Jawab Zahrana tenang.

"Penjual kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" tanya ibunya dengan mata berbinar.

"Iya Bu."

"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"

"Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"

"Iya. Iya. Baik."

Zahrana lalu masuk kamarnya untuk siap-siap shalat Maghrib. Sebelum ia mengambil air wudhu hpnya berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,

"Ass wr wb. Bu ini Hasan. Alhmdulillah tadi sy sdh
wisuda. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw
terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh
sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."

Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu di wisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan.

Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia tersenyum simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama-sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.

^-^

Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai, memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok. Ayah dan ibu Zahrana pun cocok.

Barulah setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan dua keluarga. Mulanya si Rahmad merasa minder. Tapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada Rahmad Pak Kiai berkata,

"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak. Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!"

Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga.

"Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin barakah!" Demikian Pak Kiai berkomentar.

Dan ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad dengan Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.

Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang. Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang.

Nina mengirim balasan:

"Trm ksh Bu atas undangannya. Smg prnikhnnya
barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang
sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di Jkt.
Saling mendoakan ya Bu. Nina."

Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l. Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah Swt.

Sementara Hasan mengirim balasan,

"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs datang Bu. Sbb hari itu saya hams mengurus beasiswa S.2 USM (Universiti Sains Malaysia). Motion doanya."

Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan sukses.

Tak ketinggalan ia juga mengundang temantemannya sesama dosen waktu mengajar di kampus Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin. Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak ia suka itu.

Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.

"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!" Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.

^-^






Kamis, 07 Januari 2010

Takbir Cinta Zahrana Part 2

Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya itu berkata,

"Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu."

"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati.

"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak."

"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget.

"Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus."

"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!"

"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang."

Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan. Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah,

"Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."

"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu Merlin.

^-^

Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh.

Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.

"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana.

"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin."

"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?"

Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu,

"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya."

"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu."

"Jadi?"

"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar."

"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"

"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain sebagainya."

Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.

"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."

"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."

"Kau memang sahabatku yang baik Lin."

^-^

Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen banyak yang kaget.

"Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya.

"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya.

"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"

"Ya. Final."

"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para dosen akan men-support-mu."

"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah."

"Sama-sama."

Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam.

"Nina!"

"Ya Bu Rana."

"Bisa bantu saya sebentar?"

"Bisa Bu."

"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."

"Baik Bu."

Ia lalu balik ke ruang kerjanya.

"Pak Didik?"

"Ya Bu Rana."

"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta tolong dicarikan taksi."

"O bisa Bu."

Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu.

"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus.

"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."

"Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.

"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan.

"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya mahasiswa itu lagi.

"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah."

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini lagi?"

"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu.

Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung. Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barang-barangnya.

Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!" Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika meluap, "Kurang ajar!"

Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tiba tiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu. Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.

^-^

Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.

Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.

Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting.

Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan. Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya.

la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak ulama? Atau karena memang di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering
didatangi mahasiswanya.

Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.

Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia menjawab,

"Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai danpara santri."

Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju. Namun ia kemudian berusaha menghibur,

"Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang Zahrana harap tidak juga datang."

Wajah ayahnya itu sedikit cerah,

"Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu."

"Iya Yah. Mohon doanya terus."

"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang dan malam, Anakku."

"Terima kasih Ayah."

^-^

Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.

Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Ia membukanya:

"Sedang apa perawan tua?"

"Ternyata jadi perawan tua itu indah."


"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"

Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh. Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.

Internetnya sudah konek. Lima email dari temantemannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.

Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,

"Apa kabar Perawan Tua?"

"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua!"

Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya.

Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN.

Baru dikirim beberapa jam yang lalu.

la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.

Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa menerimanya nanti.

Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini. Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia.

Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.

Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Hormat saya,

Didik Hamdani, M.T.

Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita.

Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu.

la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,

"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu orang saja!"

Ia tidak tahu akan menjawab apa.

Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada. Matanya masih berkaca-kaca.

^-^