Minggu, 25 Juli 2010

Untitled

Siang itu aku terbangun dari tidur setelah tak sedikitpun memejamkan mata pada malam sebelumnya. Hari libur memang ibarat seteguk air yang kuminum pada musim kemarau setelah beberapa hari harus kulalui dengan mata terpejam kurang dari lima jam setiap harinya. Sayup-sayup kudengar ibuku bercerita kepada tetangganya tentang anak lelakinya yang belum terbangun pada siang hari karena harus kuliah pada pagi hari dan bekerja pada malam harinya untuk membiayai kuliahku. 

Ibu, wanita paling sabar yang pernah kukenal. Tidak pernah ia mengeluh tentang kelakuan kurang terpuji dari anaknya. Ia hanya bisa berdoa dan berdiam sambil berharap anaknya kelak dapat memperbaiki kesalahannya. Satu hal yang kutahu, Ia selalu bangga dengan anaknya. 

Ibuku yang tidak pernah lulus Sekolah Dasar itu selalu bercerita kepada setiap tentang aku, anak laki-laki yang ia harapkan mampu mengangkat derajat keluarganya di masyarakat dengan menjadi seorang sarjana. Ia mengatakan aku sedang melanjutatkan studi di sebuah perguruan tinggi walaupun tak tahu apa strata maupun program studi apa yang aku tempuh. Yang ia tahu hanyalah anak lelakinya sedang melanjutkan kuliah dan ia sangat bangga akan hal itu.

Hari itu menyadarkanku bahwa Ibuku yang sudah tiga tahun menjadi seorang janda amat mengharapakan aku menjadi seorang yang menurutnya sukses dan mempunyai kedudukan di masyarakat di kami tinggal. Harapan yang membuatnya rela meminjam uang kepada beberapa rentenir hanya untuk menyekolahkan kedua anaknya, aku dan adik perempuanku.

Sungguh aku amat takut menjadi anak durhaka. Beliau memang tidak pernah menuntut apa-apa dariku. Ia hanya punya harapan anaknya akan sukses di kemudian hari. Aku takut aku menyia-nyiakan harapannya itu. Sungguh aku takut menjadi anak durhaka yang mengkhianati uangnya, anak durhaka yang mengkhinati harapannya dan anak durhaka yang mengkhianati doanya.

Add caption